BANDUNG, aliranberitacom –
Sudah 19 tahun kita punya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), tetapi tampaknya masyarakat pada umumnya masih memiliki persepsi yang sama soal KDRT. Bahwa KDRT merupakan urusan privasi sebuah keluarga/pasangan sehingga masyarakat sekitar sungkan untuk turut campur hingga penegakan hukum yang masih saja terkendala.
Padahal, seperti pepatah sebuah iklan, “Kita Ga Enakan, Dia Seenaknya”, begitu pula pelaku KDRT. Semakin kita tak peduli karena merasa sungkan, pelaku semakin menjadi-jadi yang akan berakibat buruk pada korban, terutama istri/perempuan dan anak. Tak sedikit korban yang akhirnya bunuh diri atau malah dibunuh oleh pelaku KDRT.
Di Indonesia, kasus kekerasan suami terhadap istri menjadi kasus paling tinggi dari total kasus KDRT yang dilaporkan selama 2016 hingga 2020 yang mencapai 36.367 kasus. Sementara, selama 2021, ada 2.633 kasus KDRT. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) juga menunjukkan tingkat KDRT di Indonesia masif di angka 3.173 kasus per Januari 2022 sampai Februari 2023.
Terakhir, kasus KDRT viral setelah seorang suami di Kabupaten Bogor (yang kemudian diketahui sebagai pelaku KDRT) mengunggah kabar istrinya, dr Qory, yang kabur dari rumah tanpa membawa apa pun setelah bertengkar dengannya. Unggahan itu malah akhirnya membuka kebejatan sang suami yang diduga telah melakukan KDRT terhadap dr Qory sejak lama.
Tak sampai di situ, rupanya dr Qory pun sempat mendapatkan perlakuan kurang baik saat melaporkan KDRT yang diterimanya dari sang suami. Hal ini terungkap saat Kapolres Bogor AKBP Rio Wahyu Anggoro yang melakukan pemeriksaan kepada oknum anggota polisi yang dianggap tidak profesional ketika menerima laporan korban.
Rio menyebutkan, ada dua orang oknum anggota yang dianggapnya tidak profesional. Menurut dia, anggotanya itu tidak paham hal-hal yang bisa memenuhi perkara sehingga meminta dokumen yang tidak seharusnya kepada korban.
Penanganan KDRT di Indonesia memang masih menuai banyak kendala. Selain karena masih banyak yang menilai kasus ini sebagai lahan privasi, sebagian besar korban KDRT tidak memiliki keberanian untuk melapor. Pun jika melapor, tak sedikit dari mereka yang mencabut laporannya sehingga pelaku tak mendapatkan hukuman yang setimpal. Masalah lainnya, masih ada saja penegak hukum yang kurang peka sehingga laporan korban tidak segera ditanggapi. Bahkan, ada kasus yang akhirnya berujung pada kematian korban akibat ulah pelaku karena penegak hukum tidak segera bertindak. Jangankan korban perempuan yang murni ibu rumah tangga dan tidak memiliki penghasilan, pesohor di dunia hiburan pun, yang memiliki penghasilan besar, bisa hidup mandiri pun (tak tergantung finansial suami), memilih mencabut laporan KDRT suaminya dan memilih untuk berdamai. Padahal, saat itu sebagian besar masyarakat Indonesia sudah bersimpati dan berempati pada korban. Masyarakat pun merasa kena prank saat itu.
Mungkin alasan-alasan yang kadang tak masuk akal dari korban untuk mencabut laporannya ini yang membuat sebagian kalangan menjadi “malas” menanggapi kasus KDRT. “Ah palingan habis ini juga balikan lagi, laporan dicabut. Kena lagi, cabut lagi”. Mungkin persepsi ini yang ada di benak sebagian masyarakat.
Pendiri JalaStoria yang juga merupakan Ketua Dewan Pers periode 2022-2025, Ninik Rahayu, mengatakan kehadiran UU PKDRT yang hampir dua dekade lamanya merupakan harapan dari masyarakat Indonesia terutama para korban KDRT yang menginginkan UU PKDRT menjadi salah satu jalan memperoleh keadilan dan perlindungan. Namun dalam perjalanan penegakan hukumnya, UU PKDRT kerap menghadapi berbagai macam tantangan dan hambatan.
Salah satu tantangan dan hambatan terbesar yang dihadapi dalam proses penegakan hukum UU PKDRT ini adalah perspektif. Banyak korban, khususnya perempuan yang sulit memposisikan dan mengondisikan dirinya mengalami KDRT. Apalagi KDRT ini berkaitan erat dengan norma agama, budaya, sosial, dan finansial yang begitu kompleks sehingga KDRT dianggap sebagai kasus yang terjadi di ruang pribadi dan sukar untuk diungkapkan di muka umum.
Meski demikian, seharusnya norma yang ada tidak bisa menoleransi kekerasan yang sudah dilakukan pelaku. Apalagi, kecenderungan pelaku KDRT akan terus mengulangi perbuatannya. Korban pun membutuhkan dukungan agar berani melapor dan kembali bangkit. Dengan demikian, kekerasan tak terus berulang yang bahkan sampai merenggut nyawa korban.(**)
Sumber : Pikiran Rakyat
Editor: aliranberitacom
Senin 20.11.2023. 10:37 wib
#hukum #pkdrt