Telisik Keefektifan Teknologi Wolbachia Turunkan Kasus DBD

BANDUNG, aliranberitacom

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan varian serius dari demam berdarah (DB), yang berpotensi mengancam nyawa. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.

Menurut laporan Kementerian Kesehatan, sebanyak 73% dari total 1.183 kematian akibat demam berdarah dengue pada tahun 2022 terjadi pada anak-anak berusia 0-14 tahun.

Total kasus DBD di Indonesia terus meningkat, mencapai 73.518 kasus dengan 705 kematian pada tahun 2021. Pada tahun 2022, angkanya meningkat menjadi 131.265 kasus dengan 1.183 kematian. 

Selama periode Januari-Juli 2023, terdapat 42.690 kasus terinfeksi DBD dengan 317 kematian. Sebagai respons terhadap tantangan ini, Kementerian Kesehatan menerapkan inovasi teknologi wolbachia untuk mengurangi penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia.

Teknologi wolbachia melibatkan penginfeksian nyamuk Aedes aegypti dengan bakteri Wolbachia yang dapat membantu mengurangi penyebaran virus dengue. Wolbachia secara alami ada pada banyak serangga, termasuk nyamuk dan dapat menghambat kemampuan nyamuk untuk mentransmisikan virus tersebut kepada manusia. 

Pendekatan ini diharapkan dapat menjadi metode inovatif untuk mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti dan mengurangi risiko penularan penyakit seperti demam berdarah dengue.

Terkait inovasi wolbachia untuk mengurangi penyebaran DBD, Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menyatakan, meskipun riset telah dilakukan, tetapi masih agak jauh untuk mengimplementasikannya sebagai program yang luas dan merata.

“Implementasinya tidak dapat diabaikan karena memiliki dampak yang signifikan. Oleh karena itu, ketika menjalankan riset semacam ini, setiap faktor harus dipertimbangkan dengan cermat,” ungkap Dicky kepada Validnews.id, Sabtu (18/11).

Dicky memberi contoh, dalam konteks Wolbachia dengan kondisi global yang semakin panas, dampak pemanasan global pada riset ini sangat terlihat. Beberapa paper riset menunjukkan bahwa pada suhu yang semakin tinggi, efek Wolbachia dalam memblokir patogen mengalami penurunan.

“Karena suhu panas memperpendek masa inkubasi nyamuk setelah menggigit individu yang terinfeksi. Hal ini menjadi tantangan bagi efektivitas Wolbachia dalam mengatasi penyebaran penyakit,” ucapnya.

Selanjutnya, perlu dicatat bahwa suhu yang semakin panas dapat menyebabkan penurunan jumlah Wolbachia dalam nyamuk. Densitas Wolbachia yang mencukupi sangat penting untuk menjaga efektivitas dalam menghambat replikasi virus.

“Dan inilah yang ingin saya sampaikan, belum lagi mempertimbangkan faktor host manusia, belum lagi faktor virus. Jadi, ingatlah bahwa ketika kita melakukan intervensi pada alam, seperti dalam hal makhluk hidup seperti virus dan nyamuk, mereka akan terus berevolusi saat merasa ada upaya penghambatan terhadap mereka,” terangnya.

Inilah yang memiliki potensi untuk memunculkan mekanisme escape, yang pada akhirnya bisa menjadi lebih merugikan bagi manusia.

“Saya tidak benar-benar kontra, tapi hal ini memerlukan banyak catatan. Tidak bisa hanya melibatkan satu atau dua aspek saja. Dalam konteks ini, sebagai ilmuwan keamanan global, saya memiliki latar belakang multi disiplin yang sangat penting dalam memonitor dan mengawasi riset seperti ini,” tuturnya.

Itulah sebabnya, dalam konteks pendekatan kesehatan masyarakat seperti 3M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak), menjaga kebersihan dan hidup sehat tetap harus menjadi strategi utama yang dijalankan.

“Sementara hal-hal seperti ini masih menunggu, mungkin baru akan terlihat kemungkinan 20-30 tahun ke depan,” pungkasnya.(*)

 

Sumber: Annisa nur Jannah/validnews.id

Editor: tim aliranberitacom

 

Sabtu 18.11.2023.     12:42 wib

 

#kesehatan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Related posts
Tutup
Tutup