BANDUNG, aliranberitacom –
Bagaimana suasana Lebaran di kampung pada tahun 1910-an atau awal abad 20? Kita bisa mendapat gambarannya melalui buku yang terbit pada masa itu. Salah satunya adalah buku berbahasa Sunda “Roesdi Djeung Misnem” yang ditulis A.C. Deenik dan Rd. Djajadiredja.
Pada jilid buku tersebut tertulis, diperuntukkan bagi murid-murid di sekolah Sunda. Buku yang semuanya berjumlah empat jilid ini, diberi ilustrasi oleh De Bruin. Dalam salah satu bagiannya ada pembahasan khusus tentang Lebaran.
Disebutkan, sore hari menjelang malam takbiran, anak-anak berkumpul di depan masjid sambil tiduran. Isi pembicaraan mereka tiada lain tentang petasan. Satu sama lain saling bertanya tentang berapa banyak petasan yang akan disulut esok hari ketika Lebaran tiba.
Pada malam harinya, usai salat isya, para orangtua berkumpul di masjid. Kemudian mengumandangkan takbir. Sementara itu anak-anak ramai di halaman masjid menyulut petasan.
Saat Lebaran, begitu proses salat Id selesai, kembali bunyi petasan bersahutan. Anak-anak tampak gembira. Disusul kemudian dengan bunyi beduk (dulag) yang dipukul terus-menerus berirama.
Setelah pulang ke rumah dan menyantap makanannya, warga pun bersiap untuk melakukan nadran di pemakaman. Mereka menyiapkan rampe (sediaan untuk sesaji) dan kemenyan. Mereka berdoa di makam orangtua dan kerabat, sambil menyimpan sesaji yang disertai nyala dupa. Pemakaman dipenuhi orang-orang yang nyekar.
Hajat Lebaran
Tradisi lain yang sering dilakukan kala itu adalah Hajat Lebaran. Ada dua macam Hajat Lebaran, yaitu hajat di rumah masing-masing, berkumpul dengan keluarga, makan bersama; satu lagi, berkumpul dengan warga lainnya mengambil tempat di masjid. Di situlah warga botram, makan bersama.
Setiap keluarga membawa beragam makanan ke masjid. Setelah berkumpul semua, seorang yang dituakan kemudian memimpin pembacaan doa. Isi doanya antara lain isinya mensyukuri telah selesai melaksanakan puasa sebulan penuh. Usai berdoa, makan berjemaah pun berlangsung.
Lebaran di kota
Haryoto Kunto, Sang Kuncen Bandung, dalam bukunya “Ramadhan di Priangan” menuliskan tentang suasana Alun-alun Bandung masa lalu pada saat Lebaran. Pagi-pagi sekali warga Dayeuh Bandung berbondong-bondong mendatangi Alun-alun Bandung untuk melaksanakan salat Idul Fitri besama. Warga kota tumpah ruah di lapangan tersebut.
Sejak Bupati Bandung R.H. A. A. Wiranatakusumah V pulang menjalankan ibadah haji ke Tanah Suci pada tahun 1924, sebuah prosesi arak-arakan kerap dilakukan pada Hari Raya Idul Fitri. Para menak Bandung dan kaum ulamanya berjalan kaki dari pendopo menuju Masjid Agung. Dalam rombongan tampak mereka mengenakan baju gamis, jubah, sorban seperti dalam cerita Kisah 1001 Malam.
Seusai salat Id, masyarakat dari berbagai kalangan itu berhamburan menuju barisan para menak. Mereka berebut untuk mencium tangan Dalem Bandung dan juga Panghulu. Setelah itu, mereka diperbolehkan masuk ke kawasan Pendopo Kabupaten Bandung. Di tempat tersebut sudah tersedia makanan yang bebas untuk dicicipi.
Dalam bukunya yang lain “Semerbak Bunga di Bandung Raya”, Haryoto Kunto juga menyebutkan, di samping ada barisan prosesi para menak, ada pula para penggawa dan pejabat kabupaten, mengantarkan beberapa gunduk “congcot nasi” (tumpeng) di lengkapi berbagai jenis makanan dan buah-buahan. Semuanya diletakkan di dalam “jolang”, dipikul orang, untuk kemudian didoakan para ulama Masjid Agung. Begitu doa selesai, warga pun menyerbu congcot.
Keramaian Alun-alun Bandung sebenarnya tidak hanya berlangsung pada saat Lebaran, melainkan selama bulan Ramadhan. Mungkin karena tempat tersebut bagian dari pusat pemerintahan, berada di tengah kota yang ramai untuk ukuran kala itu, dan terbuka untuk dijangkau siapa saja, maka Alun-alun Bandung menjadi destinasi wisata yang menarik.**
Sumber : Buku “Semerbak Bunga di Bandung Raya” karangan Haryoto Kunto
Editor: kmc
Jum’at 5.4.2024. 08:15 wib